Jumat, 21 Oktober 2011

Dalam Bias Masa Lalu




Tunggu, 10 meniittt saja, please?
Aku termangu, tak tahu harus menjawab apa SMS dari Bimo kali ini.
Please?
Aku menghela nafas, bingung. Kebingungan yang mungkin terbaca oleh Bimo di ujung sana, dan memutuskan menelponku. Ragu, aku mengangkatnya.
Aku hanya ingin bertemu.... kalaupun 10 menit terlalu banyak, ijinkan aku walau hanya 1 menit saja...
Ahhh....aku kehabisan kata-kata, tak tahu harus bilang apa. Rasa dan logikaku tak sejalan, hati dan otakku tak seirama. Batinku bagai terbelah, saling beradu, antara iya dan tidak.
Wi....please...? Setidaknya, ijinkan aku melihatmu! Itu saja, tak lebih..!
Aku menghela nafasku, menghalau bimbang dan gundah yang menyergap jiwaku. Hanya satu kata yang akhirnya bisa terucap dari mulutku.
Oke... Thanks, Wi, tunggu aku, aku segera menyusulmu...
Aku berjalan meninggalkan toko buku yang dulu memberi kenangan indah buatku. Turun dengan eskalator menuju sebuah kafe di lantai 1, tempat yang diminta Bimo untuk bertemu.
Secangkir Capucinno aku teguk perlahan. Tak bisa kunikmati sepenuhnya seperti biasa. Detak jam di tanganku seperti ikut bimbang dan bergerak pelan.
Haruskah aku menemuinya?
Capucinno di hadapanku tinggal separuhnya. Pikiranku terus berkecamuk. Berkelebat bayangan lain di kepalaku, bukan bayangan Bimo...
Aku berdiri, kubiarkan separuh capucinno itu diam dalam cangkir. Memandang sejenak ke sekeliling dan melangkahkan kaki. Masuk ke dalam sebuah taksi yang berhenti di depan mall.
Rinjani, Pak!
Ucapku pada sopir taksi, yang diikuti anggukan kepala sang sopir. Sebuah pesan  singkat aku kirimkan ke Bimo.
Maaf, aku harus segera pulang
Ya, aku harus segera pulang dan mempersingkat liburanku di rumah Budhe-ku. Rumah yang dulu pernah menjadi kenangan indah bagiku. Aku pesan tiket kereta malam itu juga. Berbagai alasan kusampaikan pada Budhe, bahwa aku harus secepatnya pulang ke Jakarta, tanpa sepatah kata pun aku sebut nama Bimo.
***
SMS panjang dari Bimo aku buka di atas kereta express yang membawaku pulang ke Jakarta.
Kenapa, Wi? Kau benci aku? Karena aku meninggalkanmu dulu? Sungguh, Wi, seandainya waktu bisa aku putar kembali, aku ingin menebus semuanya. Tapi waktu terus berjalan, dan aku hanya bisa menyesal. Kau tahu, sering aku berkhayal, seandainya aku bersamamu mungkin hidupku bahagia, Wi. Tak seperti sekarang...
Air mataku menetes.... Entah untuk apa dan siapa tetesan air mataku ini. Aku hanya terdekap bisu, mengingat semua yang telah lewat belasan tahun yang lalu. Saat cinta pertama kali menyapa hidupku. Kurangkai indah untuk sebuah hati milik seorang lelaki, Bimo. Pun cinta itu bertahan di relung batin, saat sebuah keputusan diambil Bimo. Meninggalkanku karena sebuah alasan yang sesungguhnya sangat aku pahami. Dan aku yang lugu, masih terus berharap, keajaiban akan datang kepada kami. Menyatukan lagi benih-benih cinta yang kubiarkan hanya untuknya. Hingga kemudian aku tersadar, waktu kian berlalu, keajaiban pun kian jauh dari rengkuhanku. Meski berat, aku harus melupakan harapanku.
Belasan tahun aku berlari, tak juga membuatku terlupa. Tak juga sanggup mengubah cinta menjadi benci. Rasa itu masih terus mengiring geliat batinku. Rasa yang menyiksaku....
Aku tak pernah membencimu, aku mengerti alasanmu pergi, Bim. Aku pun tak ingin menyesali waktu. Aku ingin berdamai dengan rasaku. Mungkin kita bahagia jika bersama, mungkin juga tidak. Skenario manusia tak selalu sejalan dengan skenario Tuhan. Maafkan, aku sungguh tak bisa menemuimu meski 1 menit saja. Aku hanya ingin sepenuh hatiku bisa utuh mencintai suamiku, tanpa ada sedikit ruang pun yang tersisa untuk masa lalu....
Aku menyeka sisa air mata di pipiku. Memencet sebuah nama dan menelponnya.
Jemput Bunda, di stasiun, ya... Bunda kangen sekali....
Sudut hatiku pun berdoa, melantunkan harapan, Tuhan, ijinkan aku agar sepenuhnya cinta ini kutambatkan pada lelaki setia yang kau pilihkan untuk menjadi suamiku...

HD Edityo, posted at Mbahwo.com on 08 July 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar