Selasa, 25 Oktober 2011

Berkawan Dengan Badai


Jika kita diam saat badai datang, maka kita akan terhempas olehnya. Jika kita tak cukup kuat melawan badai maka hanya akan menghabiskan energi kita, dan akhirnya kita akan terhempas juga. Berkawanlah dengan badai dan kita akan tahu tentang badai itu sendiri, kemana dia akan menuju dan seberapa besar kekuatannya.

Manusia tak lepas dari persoalan dan permasalahan dalam hidupnya. Entah itu masalah kecil atau besar, rasanya tak seorangpun yang bisa bebas sepenuhnya dari masalah.


****
Seorang kawan, di suatu pagi, mengirimkan sebuah pesan singkat yang berisi, “Aku depresi, setelah melahirkan anakku...”. Sebagai seorang yang sama – sama pernah mengalami syndrome post partum bernama Baby Blues dengan level Depresi, saya paham betul kalau dia sedang menghadapi sebuah badai besar yang sedang menghempaskannya.
Badai yang sungguh dahsyat datang menghampirinya dengan cara yang sungguh mengejutkan. “Suamiku menikah lagi saat aku hamil 7 bulan, dan dia sama sekali tak peduli dengan kelahiran anaknya, bahkan ketika anakku dirawat di rumah sakit pun dia tak pernah menjenguknya. Dan perceraian menghadang kami di saat anakku belumlah genap berusia 2 bulan”
Sepertinya akan badai – badai lain yang terus menemaninya, seperti yang dia tuliskan dalam pesan berikutnya, “aku tak tahu, bagaimana aku harus membesarkan anakku sendiri, aku tak tahu jawaban apa yang harus kuberikan pada anakku kelak saat dia bertanya tentang ayahnya, rasanya aku tak kan rela melihat putriku kecilku ikut merasakan luka yang kurasakan...”
Ingin rasanya saya berlari menghampirinya, memeluknya dan memberikan sedikit kekuatan untuknya. Namun jarak yang membentang di antara kami, membuat saya hanya bisa sedikit menghiburnya tanpa bisa memeluknya dan sedikit berujar, “jangan kau lawan badai itu jika kau tak sanggup, tapi berkawanlah dengan badai itu sehingga kau akan tahu titik kelemahannya dan tahu cara menghadapinya tanpa menghabiskan energimu...”
****
Sungguh saya merasa beruntung, meski saya sempat terpuruk 6 bulan lamanya saat baby blues menyerang dan membuat saya menjadi seorang paranoid. Badai yang saat itu saya hadapi sebenarnya tidak sedahsyat badai yang datang pada kawan saya, badai yang saya hadapi adalah sekumpulan badai – badai kecil yang kemudian bergumul menyatu menjadi besar dan dengan kesombongan saya hadapi sendiri semuanya. Namun, ketika saya sadar bahwa energi saya tak cukup untuk melawannya, saya menyerah dan menjerit meminta pertolongan pada suami dan sahabat, dan mereka ada di samping saya, menuntun saya keluar dan memberikan kehangatan jiwa pada sebuah pelukan. Sedangkan yang terjadi pada kawan saya, justru sang suamilah penyebab badai dahsyat itu datang!
****
Seorang sahabat memilih berkawan dengan badai ketika dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa putra bungsunya adalah pengidap Down Syndrome. Masalah itu akan menjadi sebuah masalah ketika kita mempermasalahkannya..begitu yang pernah dia sampaikan pada saya dikala saya terpuruk. Dia telah mengajarkan satu hal yang sangat berarti bagi saya, bagaimana dia berkawan dengan badai dan mengendalikan badai tanpa menghabiskan energi.

Saya ingat betul, bagaimana dia memperlakukan putranya dengan sepenuh kasih, dan tak sedikit pun saya lihat perasaan malu dan rendah diri di pancaran wajahnya ketika bercerita tentang putra bungsunya. Dia selalu beranggapan, bahwa apa yang terjadi pada putranya adalah sebuah karunia yang membuatnya selalu merasa bersyukur karena Sang Kuasa memberikan ilmu kehidupan lewat putranya itu.
****
Catatan untuk dua orang sahabatku di Yogya; LI, yang banyak memberikan makna kehidupan,I Miss U..seandainya kau masih di sini...dan juga AS, aku yakin kau bisa kalahkan badai itu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar