Senin, 31 Oktober 2011

Apa Enaknya Jadi Guru?

Apa enaknya jadi guru? Gaji kecil, pandangan terbatas pada tembok-tembok kelas dan tak menantang!
alfyori.multiply.com
Barangkali banyak orang-orang yang berpikiran seperti itu pada profesi guru. Termasuk aku sendiri, dulu (belasan tahun yang lalu) pun berpikiran demikian. Guru sering dianggap sebagai profesi “kelas dua”
dibandingkan dokter. Meski sekarang, seiring dengan semakin sempitnya lahan pekerjaan ditambah iming-
iming tunjangan sertifikasi, banyak yang berlomba-lomba menjadi guru, termasuk para sarjana yang notabene bukan sarjana kependidikan.

Menjadi seorang guru, tak sekedar menjadi pengajar di depan kelas, sekedar mentransfer materi pelajaran kepada siswanya. Menjadi seorang guru, tak hanya dibatasi papan tulis, tembok ruang kelas, dan nilai-nilai siswa. Ada banyak hal menantang yang terjadi dan menarik untuk dipelajari.

Sudah 10 tahun aku berprofesi sebagai guru SMA. Banyak hal-hal yang aku dapatkan dari siswa-siswaku dan menjadikan aku belajar banyak hal karenanya. Pengalaman seorang guru di tiap tingkatan sekolah tentu berbeda bukan? Seorang guru SD pasti punya cerita tersendiri yang tak sama dengan guru SMA. Lantas, hal apa yang manarik menjadi guru SMA? Salah satunya adalah ketika kita menyelami kehidupan mereka dan masuk dalam pola pikir mereka.

Usia antara 15 – 18 tahun adalah usia seorang remaja yang tengah mencari jati diri. Mereka perlahan meninggalkan fase ABG-nya. Emosi yang fluktuatif mewarnai kepribadian mereka yang berada di golongan usia ini. Pada usia ini  keberanian dan rasa penasaran akan sesuatu hal semakin kuat, termasuk untuk hal-hal yang dianggap melanggar norma.Pemikiran-pemikiran mereka tak jarang pula sudah mulai memasuki fase dewasa.

Dalam perjalanan waktu menekuni profesi ini, banyak sekali peristiwa yang membuat aku harus ‘masuk’ ke dalam wilayah emosi mereka. Tentunya memaksaku untuk sedikit mundur ke belakang, mengingat kembali masa-masa remaja untuk menyelami pikiran mereka. Bagi aku pribadi, ini penting. Karena dengan memposisikan diri di ‘fase’ mereka, komunikasi bisa lebih terbuka dibanding jika aku hanya sekedar memposisikan diri sebagai ‘orang tua’ di sekolah.

Tak jarang aku ikut tersenyum dan tertawa, mendengar celoteh mereka yang sedang jatuh cinta. Ah, tak salah bila orang bilang masa paling indah adalah masa SMA. Atau mendengar semangat mereka yang menggebu-gebu menapaki jalan menuju masa depan. Binar keceriaan di mata mereka tak jarang membuatku ingin kembali ke masa itu... (ah...mungkin jika benar-benar ada mesin waktu ya...).

Namun tak semua hal indah yang aku  temukan pada diri mereka. Banyak pula hal-hal yang mebuatku merasa sesak di dada diiringi ketakjuban yang luar biasa. Kok bisa ya, seumur mereka mengalami hal demikian? Sekolah tempatku bertugas berada pada lingkungan yang sebagaian besar masyarakatnya berada pada garis ekonomi menengah ke bawah. Entah berapa puluh kali bahkan mungkin beratus kali, telingaku mendengar derita mereka karena persoalan ekonomi dan keluarga. Sudah kekurangan, tak jarang mereka masih menjadi korban keegoisan orang tua. Entah karena orang tuanya bercerai, atau karena tak jelas keberadaan orang tuanya ada dimana.

Banyak dari mereka yang bertahan dengan kompleksitas kehidupannya dan menjadi ‘pemenang’. Dari mereka inilah aku belajar, bagaimana bertahan dengan ketangguhan yang mengagumkan. Dari mereka inilah aku menemukan satu wujud rasa syukur dengan cara sederhana.

Tapi sebagian dari mereka ada pula yang kalah dengan keadaan dan menyerah. Keadaan yang tak jarang membuat mereka mudah terseret pada sesuatu yang tidak semestinya. Rasa iri karena ketiadaan yang ada pada mereka, bisa berdampak sedemikian jauh. Meski baru kutemui kali ini pada seorang siswaku, tapi cukuplah membuatku bagai dipukul palu godam. Seorang siswaku ada yang terprovokasi SARA dan hampir berkelahi dengan seorang guru yang beda agama dan suku! Oh, God!

Kejadian yang berawal dari razia hp (apakah ada konten porno atau tidak di dalamnya), dan hp satu siswaku tersebut kedapatan ada gambar yang dianggap melanggar peraturan sekolah, sehingga yang bersangkutan berurusan dengan guru BP. Tapi entah mengapa, siswaku yang sehari-hari bekerja sebagai kuli pasir seusai pulang sekolah ini kemudian tersinggung, dan penuh emosi. “HP saya jelek-jelek seperti itu hasil keringat sendiri, Pak! Gambar yang di dalam bukan dapat saya, tapi dari sananya karena saya beli HP second!” Begitu teriaknya saat itu. Hingga kemudian pertengkaran antara guru dan siswaku terjadi tepat di depanku! Spontan, aku melerai mereka, menarik siswaku menjauh begitu aku dengar kalimat-kalimatnya tentang rekanku yang menyangkut persoalan agama. Entah mengapa siswaku merembetkan masalah hingga ke persoalan agama dan suku. Tapi mendengar kalimat-kalimatnya, membuatku sadar, bahwa masih ada masyarakat yang mempersoalkan perbedaan ini. Apalagi ketika mereka terlilit persoalan semacam ekonomi. Rasa iri, sempitnya pola pikir, keegoisan untuk diakui namun enggan mengakui yang lain, menjadi semacam “pupuk” pertikaian. Inilah barangkali yang kemudian menghinggapi para pelaku anarkis di bumi ini. Kebencian tumbuh tanpa kedewasaan pola pikir yang sungguh mengerikan.

Berjam-jam aku mengajaknya berdialog, membukakan mata hatinya, bahwa perbedaan itu indah jika kita membuatnya indah! Perbedaan akan menjerumuskan kita ke neraka jika kita menganggapnya sebagai neraka. Ya, ketiadaan membuatnya membabi buta dengan sesuatu yang keliru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar