Selasa, 01 November 2011

(Bukan) Perempuan Femininkah Aku?

Siang itu, aku pulang dengan wajah meringis. Bukan karena turun gerimis, tapi karena sesuatu yang membuatku miris. Aku takut dimarahi karena pulang dengan kaki bengkak dan pincang. Untuk berjalan pun saat itu aku dibantu teman-temanku. Umurku baru 8 tahun saat itu, saat aku terjatuh dari pohon Karsen dekat masjid yang tingginya sekian meter. Punggung telapak kaki kananku retak, dan harus digips sekian lama karena terjatuh dari pohon itu. Berjalan pun dibantu tongkat kruk atau digendong kakak-kakakku kesana kemari. Orang tua dan saudara-saudaraku hanya bilang, "makanya jangan penekan melulu, kalau jatuh
siapa yang ngerasain akibatnya?" Tak pernah sekalipun orang-orang di sekitarku menganggap kebiasaanku penekan sebagai hobi yang aneh untukku yang terlahir perempuan.


Aku punya satu pohon favorit ketika itu. Pohon sirsak di belakang rumah, tepat di dekat dapur sehingga aku bisa naik ke atapnya melalui dahan pohon itu. Biasanya aku duduk di atap dapur sambil membawa bacaan favoritku, Petualangan Tintin atau majalah Bobo kesayanganku. Tak jarang pula aku sekedar "mengobrol" dengan burung Betet kesayanganku sembari berbagi buah sirsak yang matang. Orang-orang rumah hapal, jika mereka tak mendapatiku di kamar, artinya aku nangkring di pohon sirsak itu.

Meski begitu, aku tak cuma hobi nangkring di pohon Sirsak belakang rumahku itu. Kadang aku merengek pada Ibu, untuk membuatkan baju baru untuk bonekaku. Kusisir rapi rambut bonekaku, kuikat rapi seperti rambutku yang sering dikuncir dua oleh ibuku. Tak jarang pula aku mencuri lipstik ibuku, mencoba menorehkannya di bibirku dan bergaya sedikit kemayu.

Saat beranjak remaja, aku tak lagi penekan, tapi tukang kelayabanNgeluyur kesana kemari, sekedar menikmati bahwa aku bisa mengendarai motor kakakku. Hanya berputar-putar, menghabiskan bahan bakar. Kemudian kakak lekakiku bilang, "jangan cuma bisa pakai, belajarlah juga seluk beluknya!". Jadilah aku dan keponakanku (yang juga perempuan) belajar bagaimana membersihkan busi atau sekedar memberi oli. Meski sekarang aku lebih suka menyerahkan urusan itu pada bengkel langgananku...

Aku nikmati saat Bapak mengajariku, kabel mana yang harus kusambungkan. Atau saat suamiku bilang, bagian mana yang harus kubuka saat pompa air di rumahku ngadat. Semua terasa nikmatnya sama seperti saat kakak perempuanku mengajariku membuat tusuk silang. Ah, bahkan satu lukisan tusuk silangku terbingkai rapi dan terpajang di rumah Ibu hingga kini. Juga taplak meja kecil hasil rajutanku yang tetap setia menghias satu sudut rumahku.

Setiap kali aku ditanya, "baiknya ini diberi warna apa?". Spontan selalu kujawab, "biru". Bahkan roti tart yang dibuat keponakanku saat pernikahanku pun diberi warna biru. Bagiku biru adalah air, gunung, dan langit. Ya, aku suka sekali dengan air, mungkin ada hubungannya dengan zodiak kelahiranku, Aquarius? Entahlah. Bagiku air yang biru serupa ketenangan. Aku suka gunung yang terlihat membiru dari kejauhan. Bagiku itu lambang kegagahan dan kegigihan. Meski aku pernah merengek sedih saat mendaki sebuah gunung bertahun lalu, saat hirupan oksigen ke tubuhku terasa kian berat. Aku pun cinta dengan hamparan langit yang membiru di angkasa. Dispersi warnanya bagiku melambangkan luasnya kalam Ilahi. Aku dan biru seakan menyatu.

Maka ketika aku lebih memilih sepatu flatku daripada high heel yang menyiksa kakiku, aku hanya berpikir soal kenyamanan. Pun ketika aku lebih memilih potongan rambutku pendek atau panjang, pertimbanganku lebih pada soal kesenangan. Rambut hitamku pernah terpangkas pendek a la potongan rambut lelaki karena kala itu aku hobi bermain voli. Kali ini kubiarkan rambutku tergerai memanjang karena aku sedang suka dikepang. Aku suka aktivasi otak kanan dan otak kiri. Aku suka sastra sekaligus eksakta.

Pernah sebuah pernyataan dari seorang teman menghampiri, "kau perempuan tapi tak feminin sama sekali". Begitu ucapnya. Ah, aku bingung soal feminin tidaknya. Aku tak tahu, batas-batasnya. Dalam perjalanan hidupku, banyak hal yang dianggap wakil ke-feminin-an dan ke-maskulin-an, seiring sejalan dalam diriku. Yang aku tahu, aku perempuan sejati, mengalami menstruasi dan jatuh cinta pada lelaki.
Jadi, (bukan) perempuan femininkah aku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar