Senin, 12 Desember 2011

Friendship : Just The Way You Are, Friends!

coolfreeimages.net
Persahabatan adalah sesuatu yang sungguh indah. Mencari seribu musuh itu mudah, tapi mencari seorang sahabat itu susah. Seorang Kahlil Gibran menuliskan tentang persahabatan : Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang mesti terpenuhi. Dialah ladang hati, yang kautaburi dengan kasih dan kaupanen dengan penuh rasa terima kasih....
There's What Friends Are For, salah satu soundtrack film Jungle Book yang pertama kali saya tonton belasan tahun lalu saat masih kuliah. Lagu ini tiba-tiba mengingatkan saya kepada para sahabat terbaik
yang saya miliki hingga saat ini. My very true friends in ups and downs.

Saat kecil dulu (sekitar 4 tahunan umur saya ketika itu), saat masih tinggal di sebuah kota kecil yang masuk dalam wilayah Kab. Cilacap, keluarga kami bersahabat erat dengan sebuah keluarga Katholik. Sebuah persahabatan yang tak lekang oleh waktu dan perbedaan yang ada di antara keluarga kami. Hingga saat ini, persahabatan ini masih terus berlanjut. Setiap lebaran tiba, mereka tak pernah absen satu kali pun untuk bersilaturahmi ke rumah orang tua saya. Hubungan kami sudah layaknya seperti saudara dekat.

Saya pribadi juga memiliki sahabat-sahabat terbaik yang bagi saya adalah sebuah anugerah dariNya. Beberapa sahabat saat masih bersekolah ataupun kuliah dulu masih tetap menjalin tali silaturahmi hingga kini. Meski tidak harus secara face to face karena kendala jarak, setidaknya jalinan tali silaturahmi itu masih berlanjut melalui telepon atau jejaring sosial. Pernah suatu siang, saya dikejutkan oleh suara telepon yang berdering. Sebuah nomor asing, bukan nomor dalam negeri yang menyebabkan telepon berbunyi. Sapaan pertama yang saya terima, "Halo, Mbak...masih ingat pacar lama?"

Hahahaha...saya dibuat terbahak karenanya, mantan pacar saya tak pernah memanggil dengan panggilan Mbak! Jadi langsung saya tebak, ini pasti kerjaan bedhes-bedhes (panggilan yang ditasbihkan adik kelas saya untuk dirinya sendiri dan untuk beberapa temannya yang bersahabat erat dengan saya). Dan benar, telepon itu dari adik kelas saya saat kuliah dulu, seorang sahabat yang dikarunia kecerdasan luar biasa, hingga lulus duluan dibanding Mbak-nya yang otaknya pas-pasan ini....hehehe... Obrolan panjang pun mengalir siang itu. Berceritalah ia, bahwa ia menelpon dari Malaysia. IPK-nya yang di atas rata-rata membuatnya meraih beasiswa untuk melanjutkan program S2 di Universiti Teknologi Malaysia. Bukan itu saja, bahkan pujaan hatinya, yang juga termasuk dalam kelompok bedhes ini, juga mendapat beasiswa yang sama dan sama-sama tinggal di Kuala Lumpur. Sekarang, mereka berdua hidup nyaman sebagai dosen Fisika di almamater saya dan di sebuah perguruan tinggi swasta di Semarang. Yang berkesan dari mereka berdua adalah, keduanya dulu adalah mahasiswa dengan latar belakang ekonomi "kelas" bawah. Sehingga segala macam suka dan duka kami alami bersama-sama. Sungguh suatu kejutan, dimana setelah mereka berdua sukses mereka masih mengingat saya, dan rela menelpon saya jauh-jauh dari Kuala Lumpur hanya karena satu alasan, "Kangen karo Mbak Hesti je..."

Suami saya sampai terheran-heran dengan para sahabat lama, bukan cuma mereka berdua, yang masih mengingat baik pertemenan kami dan mengontak saya melalui telepon setelah bertahun-tahun tak pernah bersua. "Ayah heran, teman akrab Ibu banyak banget, ya? Sampai cari-cari nomor telepon Ibu dan tetap saling kontak."

Ada pula adik kelas saya yang akrab seperti mereka berdua, dia itu yang menasbihkan panggilanBedhes untuk dirinya. Saat saya patah hati dulu (ceile....), dialah yang berusaha menghibur saya habis-habisan, mengajak saya nonton film di bioskop hingga 4 hari berturut-turut. Satu film di antaranya yang kami tonton di Plaza 21 Simpang Lima adalah Jungle Book itu. Bahkan dia sampai khawatir sekali saat mengantar saya ke agen bus di Kaliwiru saat hendak pulang ke Purwokerto. "Mbak, ati-ati yo...Ojo nangis wae, ojo macem-macem.. Nek isih nangis, aku tak melu nang Purwokerto piye?"

Halaaah....padahal meskipun saya gembeng nggak sampai segitunya banget. Patah hati bagi saya bukan akhir dari segalanya. Maka saya tolak permintaannya untuk menemani saya pulang, "Aku ra po-po!"

Ngomong-ngomong soal mantan pacar. Kami masih tetap bersahabat hingga kini lho.... Kalau dihitung-hitung dari sejak dekat hingga berpisah, pertemanan kami sudah berlangsung sekitar 18 tahun. Dulu, setelah beberapa bulan kami memutuskan untuk "berpisah", tak banyak yang percaya kalau kami sudah "tak ada apa-apanya" lagi. Ya, karena sejak peristiwa Desember kelabu (haiya..apa lagi ini...), kami masih tetap menjadi partner diskusi. Mulai dari diskusi tentang film-film macam The Client, lagu-lagu KLa Project sampai diskusi tentang buku Kahlil Gibran. Kadang kita juga masih berdiskusi tentang makna hidup ataupun persoalan akademis semacam penelitian. Lha kalau segitu kompaknya kok sampai putus? Pertanyaan ini pernah dialamatkan seorang kawan pada saya. Saya jawab, karena itulah yang terbaik buat kami. Sekeras apapun kami berusaha bertahan, tetap saja ada Sang Maha Pengatur. Kakak lelaki saya sangat tidak menyetujui hubungan kami karena suatu alasan yang menurutnya sangat prinsip. Saya pun percaya kok, skenario Tuhan soal jodoh pasti lebih baik dari skenario manusia.

Sebenarnya dalam menjalin pertemanan, saya tak peduli tentang, siapa sih orang tuanya, apa sih profesi atau pendidikannya? Lha..kadang saya malah nggak ngeh kalau ternyata saya punya kawan yang hebat (saya yang kuper mungkin ya...). Apalagi sekedar beda agama. No problem, bro! Pernah, saat dulu masih tinggal di Semarang, seorang kawan non muslim mengajak saya ke rumahnya. Saat saya hendak shalat, dia bilang, “Ada Musholla di belakang rumah, Mbak. Takutnya di sini  tempatnya nggak suci karena kami punya anjing.” Itu yang membuat saya terharu karenanya. Maka, ketika di tempat kost kami semua berpuasa Ramadhan, dan hanya dia seorang yang tidak menjalankannya, ya, kami cuek aja saat dia melahap makan siangnya di depan kami. So what, gitu loh...!

Saya juga pernah berteman akrab dengan seorang (maaf) bajingan, tukang mabok, yang saat itu sebenarnya butuh seorang teman. Saya ingat, kawan saya ini sering menunggu saya pulang sekolah, hanya agar bisa ngobrol banyak dengan saya sepanjang jalan. Dia sangat "kesepian" karena perceraian orang tuanya, dan melampiaskan kesepiannya dengan mabuk-mabukan. Saya sempat dibuatnya terharu, saat dia pertama kali bekerja, meski hanya sebagai Cleaning Service di UNSOED, tapi bersikukuh untuk membayar ongkos angkot saya jika kebetulan kami berangkat bersama. Ongkos yang dibayarkannya memang tak seberapa, tapi rasa berbaginya yang bagi saya luar biasa.

Bercerita tentang sahabat, tak lengkap rasanya jika saya tidak bercerita tentang seorang sosok ini. Saya mengenalnya saat pertama kali saya mengajar di sebuah SMA sebagai guru honorer. Dia, yang kebetulan memiliki tanggal lahir tak beda jauh dengan saya dan memiliki banyak kesamaan sifat, bahkan sama-sama memiliki 3 anak lelaki, juga mengajar di sana sebagai guru tetap (PNS). Dialah sahabat dalam suka dan duka yang selalu down to earth, menasihati tanpa menggurui. Saat anak pertama saya demam tinggi, dan suami saya kebetulan belum pulang bekerja karena harus shift sore, maka dialah yang menjemput kami ke rumah, dan mengantarkan ke rumah sakit tanpa saya minta!

Atau, saat saya terkena Baby Blues Syndrome pasca kelahiran anak ke-2 saya. Dia tetap setia memberikan empatinya, memberi "pundaknya". A shoulder to cry on. Bayangkan, dia yang memiliki masalah yang tak kalah pelik dengan saya, anaknya yang ke-2 mengalami kebocoran klep jantung dan anak ke-3 menderita down syndrome, masih rela "mendengar" apa yang saya alami. Setiap hari, sepulang mengajar, dia masih sempatkan datang ke rumah saya, menanyakan kondisi saya dan meninabobokan anak saya dengan tembang Lelo Ledhung.

Ketika kemudian dia dan suaminya harus kembali ke kampung halaman, mutasi ke Yogya demi menemani orang tua di usia sepuhnya, saya cuma bisa menangis. Saya tak bisa berkata banyak, saat ia menelpon, "Sorry, aku ra pamitan langsung nang kowe, aku ra kuat nek kudhu nang omahmu..."
Ya, there's what a friends are for... Untuk saling berbagi, bukan untuk mencaci. Untuk saling menghormati, bukan untuk memusuhi...

Miss you my friends...

Note : artikel ini di publish ulang oleh saya sendiri dengan beberapa perubahan cerita dari artikel yang saya tulis di Mbahwo.com dengan judul There's What Friends Are For

Tidak ada komentar:

Posting Komentar